BAB 1
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Kerjasama antarnegara saat ini sudah tidak dapat lagi
dihindarkan. Bentuk kehidupan yang kompleks sangat rentan untuk tejadi
perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat
internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut
tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk
menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara. Perwujudan kerjasama
tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian.
Tidak dapat dinafikan betapa batas-batas teritorial
suatu negara nasional kini tidak lagi menjadi penghalang bagi berbagai
aktivitas ekonomi yang semakin pesat. Demikian pula lahan beroperasinya
pekerjaan hukum yang semakin mendunia. Fenomena di atas, nyata sekali dengan
berkembangnya penggunaan istilah yang mengindikasikan dilampauinya batas-batas
tradisional dan teritorial nasional suatu negara, seperti istilah transnational
corporation, transnational capitalist class, transnational practices,
transnational information exchange, the international managerial bourgoisie,
trans-state norms,3 dan lain-lain. Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia
yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara ini, boleh jadi kesepakatan
antar negaranegara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam
bentuk perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang semakin penting.
Persoalannya, karena semakin banyak masalah transnasional yang memerlukan
pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan instrumen
perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional sudah
berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur
hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin
besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.
Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang
dibuat oleh subyek hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, reginal
maupun multilateral.
Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang
menjadi pihak dua negara, sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang
menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan sedangkan multilaretal adalah
perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh
negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu. Sedangkan
menurut Konvensi wina Pasal 2 1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan
sebgai: “Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan
diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau
lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3
Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri yaitu: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan
sebuitan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara
tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satua atau lebih negara,
organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat
hukum publik”.
Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional,
Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional.
perjanjian Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah
Internasional hanya perjanjian – perjanjian yang dapat membuat hukum (Law
Making Treaties).
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertin hubungan internasional?
2. Istilah-istilah apa sajakah yang digunakan dalam perjnjian
intrnasonal?
3. Bagamanakah tahap-tahap dalam pembutan hubugan internasional?
4. Hal apa sajakah yang harus diperhatikan dalam retifikasi perjanjian
inernsional oleh DPR ?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui apa
pengertin hubungan internasional;
2.
Untuk mengetahui istilah-istilah
apa sajakah yang digunakan dalam perjnjian intrnasonal;
3.
Untuk mengetahui
bagamanakah tahap-tahap dalam pembutan hubugan internasional; dan
4.
Untuk mengetahui hal apa
sajakah harus diperhatikan dalam retifikasi perjanjian inernsional oleh DPR.
D.
MANFAAT
1.
Memahami secara luas dan
mendalam tentang apa pengertin hubungan internasional;
2.
Memahami secara luas dan
mendalam tentang istilah-istilah apa sajakah yang digunakan dalam perjnjian
intrnasonal;
3.
Memahami secara luas dan
mendalam tentang bagamanakah tahap-tahap dalam pembutan hubugan internasional;
dan
4.
Memahami secara luas dan
mendalam tentang hal apa sajakah harus diperhatikan dalam retifikasi perjanjian
inernsional oleh DPR.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Bila
bertitik tolak pada pendapat para ahli mengenai pengertian perjanjian
internasional, kita menemukan keanekaragaman pengertian. Hal ini tentu saja
dapat dimengerti karena para ahli tersebut mendefinisikan perjanjian
internasional berdasarkan sudut pandang masing-masing.
Untuk
lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum
internasional, antara lain
1. Pengertian
yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja, SH, yaitu
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.
2. Pengertian
yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger yaitu
“Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.
“Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.
3. Pengertian
yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht yaitu
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.
4. Definisi
dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu
“perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.
“perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.
Berdasarkan pengertian diatas, terdapat
sedikit perbedaan namun pada prinsipnya mengandung dan memiliki tujuan yang
sama.
Berkenaan dengan hal diatas tersebut, maka setiap bangsa dan Negara yang ikut dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
Berkenaan dengan hal diatas tersebut, maka setiap bangsa dan Negara yang ikut dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
B. ISTILAH-ISTILAH
YANG SERING DIGUNAKAN DALAM PRJANJIAN INTERNASIONAL
Istlah-istilah yang sring
digunakan dalam perjanjian internasional diantaranya, sebagai berikut;
1.
Traktat (treaty), yaitu
perjanjian paling formal yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih.
Perjanjian ini mancakup bidang politik dan bidang ekonomi.
2.
Konvensi (Convention),
yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan
kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Persetujuan ini harus dilegalisi
oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh (full powers).
3.
Protocol yaitu persetujuan
tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala Negara, yang mengatur
masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausual-klausual tertentu.
4.
Persetujuan (Agreement),
yaitu perjanjian yang lebih bersifat teknis atau administrative. Agreement
tidak diratifikasi karena sifatnya tidak resmi trakta dan konvensi.
5.
Perikatan (Arrangement),
yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang sifatnya sementara.
Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
6.
Proses Verbal yaitu
catatan-catatan, ringkasan-ringkasan, atau kesimpulan-kesimpulan konferensi
diplomatic, atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak
diratifikasi.
7.
Piagam (Statute), yaitu
himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional mengenai
pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu, seperti pengawasan internasional
yang mencakup tentang minyak atau tentang lembaga-lembaga internasional.
8.
Deklarasi (Declaration),
yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi.
9.
Modus Vivendi, yaitu
dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara sampai
berhasil diwujudkan persetujuan yang lebih permanen, terinci, sistematis, dan tidak
memerlukan ratifikasi.
10. Pertukaran Nota, yaitu metode tidak resmi yang biasanya
dilakukan oleh wakil-wakil militer atau wakil-wakil negara yang bersifat
multilateral. Pertukaran nota ini dapat menimbulkan kewajiban diantara mereka
yang terikat.
11. Ketentuan Penutup (Final Act), yaitu ringkasan hasil konvensi
yang menyebutkan negara peserta, namun utusan yang turut diundang, serta
masalah yang disetujui konvensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
12. Ketentuan Umum (General Act), yaitu traktat yang dapat bersifat
resmi dan tidak resmi.
13. Charter, yaitu istilah yang dipakai dalam perjanjian
internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif,
misalnya Atlantic Charter
.
14. Pakta (Fact), yaitu perjanjian yang lebih khusus dan membutuhkan
ratifikasi. Contoh, Pakta Warsawa.
15. Convenant, yaitu Anggaran Dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
C.
TAHAP-TAHAP
PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Menurut
Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tahap-tahap
Perjanjian Internasional (proses pembuatan perjanjian Internasional) adalah
sebagai berikut :
- Tahap Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
- Tahap Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
- Tahap Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
- Tahap Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
- Tahap Penandatanganan: merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandantanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1)
- Tahap Pengesahan: Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri beserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan undang-undang tersendiri. (Menurut Pasal 9).
D.
HAL-HAL
YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM RETIFIKASI
PERJANJAIN INTERNASIONAL OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pasal 11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan
persetujuan dengan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan kerjasama antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (DPR),
harus diperhatikan hal-hal berikut :
ü
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
ü
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
UU harung dengan persetujuan DPR.
ü
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan UU.
Perjanjian yang disampaikan kepada DPR untuk mendapat
persetujuan sebelum disahkan oleh presiden ialah perjanjian yang berbentuk
treaty dan mengandung materi :
- Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
- Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara, perjanjian kerjasama ekonomi, atau pinjaman uang.
- Soal-soal yang menurut UUD atau menurut system perundangan harus diatur dengan UU,seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal kehakiman.
Ø
Proses ratifikasi di Indonesia adalah :
1. Proses
penyiapan RUU untuk perjanjian internasional;
2. Mendapat
persetujuan dari DPR
3. Pengesahan
oleh presiden dan pengundangan oleh mensesneg atas perintah presiden
Ø
Beberapa contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian) internasional
menjadi hukum nasional
1.
Persetujuan Indonesia- Belanda mengenai penyerahan Irian
Barat (Papua) yang ditanda tangani di New York (15 Januari 1962) disebut
agreement. Akan tetapi, karna pentingnya materi yang diatur di dalam agreement
tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden
memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk “pernyataan pendapat”.
2.
Perjanjian antara Indonesia-Australia mengenai garis batas
wilayah antara Indonesia dengan Papua New guinea yang ditandatangani di
Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun, karena pentingnya
materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka pengesahannya memerlukan
persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU, yaitu UU No.6 Tahun 1973.
3.
Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia
dengan Singapura tentang selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi
persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya tidak meminta
persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk “keputusan presiden”.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setiap bangsa dan Negara yang ikut
dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua
dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal
tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak
dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta
sunt servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya,
misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak
mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil
bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling
bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
v Traktat (treaty), yaitu perjanjian paling formal yang merupakan
persetujuan dua negara atau lebih. Perjanjian ini mancakup bidang politik dan
bidang ekonomi.
v Konvensi (Convention), yaitu persetujuan formal yang bersifat
multilateral dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high
policy). Persetujuan ini harus dilegalisi oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh
(full powers).
v Protocol yaitu persetujuan tidak resmi dan pada umumnya tidak
dibuat oleh kepala Negara, yang mengatur masalah-masalah tambahan seperti
penafsiran klausual-klausual tertentu.
v Persetujuan (Agreement), yaitu perjanjian yang lebih bersifat
teknis atau administrative. Agreement tidak diratifikasi karena sifatnya tidak
resmi trakta dan konvensi.
v Perikatan (Arrangement), yaitu istilah yang digunakan untuk
transaksi-transaksi yang sifatnya sementara. Perikatan tidak seresmi traktat
dan konvensi.
v Proses Verbal yaitu catatan-catatan, ringkasan-ringkasan, atau
kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatic, atau catatan-catatan suatu
permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi.
v Piagam (Statute), yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh
persetujuan internasional mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu,
seperti pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau tentang
lembaga-lembaga internasional.
v Deklarasi (Declaration), yaitu perjanjian internasional yang
berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi.
v Modus Vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan
internasional yang bersifat sementara sampai berhasil diwujudkan persetujuan
yang lebih permanen, terinci, sistematis, dan tidak memerlukan ratifikasi.
v Pertukaran Nota, yaitu metode tidak resmi yang biasanya
dilakukan oleh wakil-wakil militer atau wakil-wakil negara yang bersifat
multilateral. Pertukaran nota ini dapat menimbulkan kewajiban diantara mereka
yang terikat.
v Ketentuan Penutup (Final Act), yaitu ringkasan hasil konvensi
yang menyebutkan negara peserta, namun utusan yang turut diundang, serta
masalah yang disetujui konvensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
v Ketentuan Umum (General Act), yaitu traktat yang dapat bersifat
resmi dan tidak resmi.
v Charter, yaitu istilah yang dipakai dalam perjanjian
internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif,
misalnya Atlantic Charter
v Pakta (Fact), yaitu perjanjian yang lebih khusus dan membutuhkan
ratifikasi. Contoh, Pakta Warsawa.
v Convenant, yaitu Anggaran Dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Pasal 11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan
persetujuan dengan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan kerjasama antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (DPR),
harus diperhatikan hal-hal berikut :
ü
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
ü
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
UU harung dengan persetujuan DPR.
ü
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan UU.
B.
SARAN
Penyusun menyadari bahwa
penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun akan perbaikan makalah kami ini, dengan senang hati dan
terbuka dari penulis menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penyusun
makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan
untuk diterapkan dalam kehidupan sehar-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Amos, Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Negaraan
Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Azhary, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum. Prenada Media:
Jakarat.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar